Saya,salah satu dari sekian banyak orang yang punya account twitter. Dan saya, satu dari sekian banyak orang yang mungkin berpikir hal yang sama dengan saya, twitter adalah tempat sampah. Ya, tempat sampah...twitter adalah tempat membuang segala uneg2 yang ada di hati dan pikiran, tempat menumpahkan kegembiraan yang melimpah ruah, tempat menggalau biru, ato sekedar menumpahkan hal yang sangat ringan. Setiap saat saya bisa menulis apa yang saya pikirkan,tentu saja dibatasi dengan jumlah karakter yang terbatas.
Twitter adalah tempat berlari saat facebook sudah terlalu penuh dengan manusia,bahkan yang tidak saya kenal sama sekali. Twitter adalah tempat berlari saat facebook tidak mampu lagi menampung segala sampah karena mungkin akan ada pihak yang bersangkutan ato pihak yang saya tidak ingin mereka tahu apa yang sedang terjadi pada saya.
Dari awal saya tidak pernah mempublikasikan twitter saya, tidak pernah meminta orang untuk memfollow saya, karena bagi saya twitter adalah area terbatas. Tapi saya tidak pernah berkeberatan apabila seseorang memfollow saya, saya gak pernah memblock ato apa, asal mereka tahan baca twit saya. Sebaliknya saya juga tidak mau dipaksa untuk memfollow orang lain, mau berapa kalipun diminta kalo saya gak mau follow ya gak akan saya follow. Dan hak saya juga untuk unfollow account orang lain,termasuk orang yang telah nyakitin saya. Disinilah saya mengunggulkan ego saya, bagi saya, saya berada disitu karena itulah tempat sampah saya, pelarian dimana saya bisa mendapat sedikit kelegaan, jd knp sy harus baca twit dr orang yang udah nyakitin saya juga?itu namanya menghukum diri sendiri dan saya gak mau.
Dalam sehari bisa banyak twit yang saya buat, entah kenapa, saya hanya gak tau mesti cerita sama siapa. Dulu, saya punya "tempat sampah" tempat saya bercerita aktivitas sehari2 saya, tapi sekarang saya harus telan sendiri cerita2 itu, twitterlah pelarian saya. Pernah ada calon "tempat sampah" baru, tapi ternyata dia tidak pantas menjadi "tempat sampah" itu, dan begitulah kenyataannya.
Well, kembali ke topik... Begitulah, tiap hari saya ngetwit, bisa puluhan kali dalam sehari...kadang hanya pikiran2 gak penting yang tiba2 terlintas di kepala, kadang tentang aktivitas saya, kadang tentang perasaan terdalam saya. Seringkali saya menumpahkan segala kegalauan dan kekhawatiran saya disitu, rasanya cuma satu, lega karena berhasil membuangnya.
Tapi twitter tetaplah twitter, sebuah hasil teknologi yang gak punya hati. Dia menerima tapi tak bisa merasakan apapun, tetap saja gak bikin perubahan apapun, yang ada hanyalah saya "memaksa" orang lain buat baca apa yang saya rasakan pas mereka buka timeline.
Dan belakangan saya berpikir, kenapa saya harus "memperkosa" orang utk sekedar dengerin saya berkeluh kesah, mungkin saja mereka jengah baca keluh kesah saya, mungkin saja mereka sebenernya gak ingin tau, mungkin saja mereka tidak ingin membaca apa yang saya tulis.
Dan lalu, di tingkat terdalam kegalauan saya beberapa hari ini, saya memutuskan untuk tenggelam sendiri. Ya, sendirian saja. Bukan berarti saya sendirian dalam arti fisik, tidak, saya tetap ada bersama orang2 di sekitar saya, tetap tertawa kalo ada sesuatu yang lucu, tetap tersenyum seperti yang seharusnya. Tapi rasanya mereka tidak punya kewajiban untuk saya jadikan tempat sampah, ato mungkin memang saya yang belum mampu menjadikan tempat sampah. Ada banyak tangan terbuka untuk saya datangi untuk sekedar berkeluh kesah, saya tau pasti itu, tapi hati ini juga memilih, dia tak bisa terbuka pada semua. Mohon maaf.
Dan beberapa hari ini, jumlah twit saya berkurang drastis...saya hanya tidak ingin "memperkosa" orang untuk sekedar mendengarkan saya,karena ketika mereka bertanya lebih lanjut, saya hanya akan tidak mampu bercerita lebih lanjut. Hati saya tidak seterbuka itu untuk bercerita, dan saya bahkan tidak bisa mengerti apa yang hati saya benar2 rasakan. Dia hanya galau dan ingin merasakannya sendiri...menanti kemungkinan adanya "tempat sampah" baru yang dia rasa tepat.
Karena kadang, tidak semua orang sanggup mendengar dan banyak orang hanya ingin didengar, termasuk saya mungkin.
Menjadi "tempat sampah" bagi orang lain pun tidak semudah itu, tidak semudah itu memilah-milah rasa, tidak semudah itu untuk bersikap objektif. Rasa sakit tetap saja mungkin datang.
No comments:
Post a Comment